Rabu, 10 Februari 2016

MENGHIDUPKAN KEMBALI NAFSU HOMO HOMINI LUPUS

?Only part of us is sane: only part of us loves pleasure and the longer day of happiness, wants to live to our nineties and die in peace, in a house that we built, that shall shelter those who come after us. The other half of us in nearly mad. It prefers the disagreeable to the agreeable, loves pain and its darker night despair, and wants to die in a catastrophe that will set back life to its beginnings and leave nothing of our house save its blackened foundations.? (Rebecca West: Black Lamb and Grey Falcon)

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

IPDN kembali membuat sebuah kejutan. Pertengkarannya dengan masyarakat setempat berakhir dengan tewasnya seorang warga. Adalah Wendi Budiman harus ?rela? menjadi tumbal akan keberingasan para ?serigala? itu.
Berangkat dari hal tersebut, penulis menjadi ingat akan sebuah kalimat sayap (proverb) yang diucapkan oleh seorang bijak (filosof) dari Romawi, Plautus, berbunyi, homo homini lupus (manusia adalah serigala pemangsa manusia lainnya). Penulis pun menjadi teringat kembali akan sebuah ?pertandingan? yang terkenal dahulu pada zaman Romawi, gladiator. Namun, bila kita kaitkan dengan perkelahian praja IPDN tersebut maka akan lain artinya. Jika dalam gladiator, para petarung merupakan ?ayam? aduan yang oleh ?pemiliknya? harus terpaksa mau diadu. Sedangkan dalam kasus praja IPDN, hal itu terbalik. Merekalah yang ingin mengadu diri dengan suka cita. Mungkin karena mereka adalah para gladiator yang sudah tak memiliki musuh lagi dalam ?lapangan? mereka. Sehingga dalam kesepian itu mereka gentayangan mencari musuh-musuh baru untuk dihabisi juga.
Hal seperti ini?bagi sebagian orang? dapat ditolerir karena ita hidup dalam alam yang kembali mempertuhankan survival dan menghalalkan adanya ?hukum rimba?, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Saling menjatuhkan demi bertahan. Tapi benarkah hal demikian?
Mungkin predikat serigala bukanlah predikat yang pantas untuk manusia, yang menurut bahasa Tuhan, makhluk yang mulia. Tetapi, untuk sifat manusia, kita tidak bisa mengelak kalau segala tindak tanduk kita bahkan jika kita bandingkan pun akan lebih parah dari binatang-binatang di hutan sana. Binatang-binatang yang sudah begitu akrab dengan bahasa hukum rimba, binatang yang sudah begitu terampil mengolah diri.
Bayangkan saja selama ini. Sajian televisi (bagi yang punya televisi) atau surat kabar (bagi yang mau baca) begitu banyak menceritakan kebuasan manusia itu. Sering saya mendengar para orang tua yang (berpura-pura?) bijak mengatakan harimau pun tidak akan memakan anaknya sendiri. Tetapi apa manusia? Jangankan anak, orang tua yang melahirkannya pun dapat ia telan mentah-mentah.
Mungkin saja nyawa sudah tidak semahal dahulu. Telah banyak orang yang berani menjual nyawa. Sebagai pasukan berani mati mungkin salah satunya. Terlepas dari lasan mereka, yaitu agama (jihad!).
Untung saja tidak ada pabrik nyawa. Seandainya ada, berapa ratus juta orang yang akan mengunjunginya hanya dalam kisaran detik saja? Kita dapat bayangkan pabrik itu akan laris oleh, baik investor maupun langganan. Dan konsumennya pasti akan berani membeli dengan harga yang amat (bahkan teramat) mahal. Bila uang yang ia miliki tidak cukup untuk membeli nyawa tersebut, maka para konsumen itu akan sanggup untuk berbuat segalanya. Bahkan menjual anaknya. Jika perlu membunuh saudaranya untuk menguasai harta warisan.
Memang manusia sudah sangat beringas. Tidak hanya para praja IPDN saja. Mungkin para koruptor dapat juga kita masukkan pada gelanggang peraduan banteng. Menjadi para gladiator yang gelap mata. Saling tanduk untuk dapat lolos sebagai pemenang.
Padahal toh pada akhirnya yang mereka dapat nanti hanyalah penyesalan, setelah mendapatkan kepuasan tentunya. Mengapa kepuasan? Ya, tentu saja kepuasan karena mereka bertarung dalam ? hutan? dan mereka mampu bertahan untuk menghadapi hal tersebut bahkan mampu menjadi pemenang dalam pertarungannya, mengapa tidak bangga?
Akan tetapi terlepas dari faktor kekuasaan dan kekuatan atau mungkin mempertahankan diri, nyawa bukanlah menjadi sesuatu yang luks lagi akhir-akhir ini. Kita bisa membeli nyawa kapan pun dan di mana pun kita mau! Nantikan saja, besok akan banyak orang mempersembahkan nyawanya untuk hal-hal yang tak berguna dan nilai nyawa akan semakin murah juga. Pada akhirnya! Tetapi, akankah itu kita biarkan?
para ismail yang munafik
bergegas menyodorkan leher:
-- sembelihlah kami!
Ibrahim yang hanif bilang:
-- tak, kalian tak boleh mati
agar menjadi pertanda biar umat waspada
(Sutardji Calzoum Bachri: Para Munafik Ismail; 2005 )


Diterbitkan dalam majalah LPM Pena kampus Edisi 07, tahun 2007



reff : http://kaleidoskop-semesta.blogspot.com/2008/10/menghidupkan-kembali-nafsu-homo-homini.html