Gema tentang Masyarakat Ekonomi  ASEAN yang akan berlaku akhir  2015 sudah sangat nyaring. Berbagai  pertemuan dan kajian tentang MEA pun sudah sangat banyak dilakukan. 
Sebagai  orang yang banyak berkecimpung dalam kerja sama ASEAN, penulis justru  tidak tahu harus bagaimana menyikapi MEA. Kerja sama ASEAN tidak pernah  dan hanya berkisar seputar rapat, lokakarya, pelatihan, dan seminar. Ada  gurauan di antara para delegasi: "Selesai acara, selesai pula  persoalan". Bagaimana mewujudkan integrasi ekonomi dengan kondisi  demikian? 
Penulis kerap berdiskusi dengan rekan-rekan sesama  delegasi ASEAN. Mereka umumnya mengeluhkan lambatnya perkembangan isu  yang dibahas di ASEAN dan tidak pernah tuntas. Sebagai contoh, kerja  sama komoditas pertanian dan kehutanan lingkup ASEAN di bawah kerangka  Joint Committee on Agriculture and Forestry Product Promotion Scheme  yang telah diinisiasi lebih dari 20 tahun lalu, sebagian besar stagnan  dan bahkan beberapa komoditas (seperti lada, tapioka, kelapa, kacang dan  bebijian, produk kayu, dan kelapa sawit) dalam beberapa tahun terakhir  tidak lagi ada perkembangan. Tercatat hanya pertemuan terkait komoditas  tuna dan rumput laut yang rutin diselenggarakan secara tahunan. 
Kerja  sama intra-ASEAN dalam bidang perdagangan barang, jasa, serta investasi  secara alamiah sebetulnya sudah berjalan bagus dan integrasi ekonomi  lebih konkret terlihat. Produk-produk ekspor dengan mudah ditemui di  jaringan retail negara-negara ASEAN. Begitu pula jaringan restoran,  waralaba, jasa keuangan, hingga bisnis daring. Meskipun tentu saja ada  peran pemerintah atas terwujudnya kerja sama tersebut, sebetulnya kerja  sama antarpelaku usaha terjadi karena adanya kepentingan ekonomi  alih-alih karena dorongan negara. 
Konvergensi ASEAN justru  semakin melemah. Tengoklah, sangat sedikit pameran dagang yang memakai  atribut ASEAN. Demikian pula pameran internasional di luar ASEAN yang  memakai embel-embel ASEAN. Proyek-proyek pembangunan yang diinisiasi  ASEAN terhitung sangat sedikit. Bisa jadi pabrik pupuk ASEAN Aceh  Fertilizer di Aceh yang sekarang sudah tutup akibat kekurangan pasokan  gas dan mismanajemen merupakan proyek terakhir ASEAN.
Delapan kendala
Mengapa kerja sama G to G di ASEAN cenderung stagnan? Penulis menengarai ada beberapa faktor penyebab.
 Pertama, latar belakang pendirian ASEAN cenderung karena dorongan dari  pihak-pihak di luar kawasan Asia Tenggara yang menginginkan stabilitas  politik di kawasan tersebut untuk melancarkan kepentingan ekonominya.  Akibatnya, selama ini peran ASEAN lebih kuat sebagai lembaga resolusi  konflik. 
Kedua, negara-negara ASEAN secara alamiah punya  keunggulan komparatif yang sama, yaitu sebagai negara agraris maritim  dengan produk yang relatif sama, kecuali Singapura (negara kota) dan  Laos (negara landlocked). Secara alamiah pula negara-negara ASEAN merupakan kompetitor satu sama lain dalam ekspor produk pertanian dan perikanan. 
Ketiga,  negara-negara ASEAN tidak terintegrasi secara geografis sehingga posisi  geopolitik setiap negara berbeda. Proyek pembangunan kereta cepat  trans-Singapura-Malaysia-Tiongkok tak punya pengaruh positif secara  signifikan bagi pembangunan kawasan timur ASEAN, seperti Brunei,  Indonesia, dan Filipina. Demikian pula dengan pembangunan waduk-waduk di  Laos yang memasok listrik hingga ribuan megawatt yang memosisikannya  sebagai "Battery of ASEAN" tidak berpengaruh pada keseluruhan kawasan,  kecuali pada subkawasan Indocina. 
Keempat, negara-negara ASEAN  secara historis memiliki riwayat konflik antarnegara yang cukup rumit.  Persoalan batas wilayah, lalu lintas pekerja migran, dan perdagangan  tradisional di perbatasan masih menjadi isu yang relevan hingga saat  ini. 
Kelima, perbedaan level ekonomi antarnegara menyebabkan  adanya perbedaan kemampuan mengimplementasikan suatu kesepakatan pada  setiap negara. Perbedaan tersebut juga menyebabkan disparitas  pertumbuhan antarbagian dalam kawasan ataupun subkawasan. 
Keenam,  ketiadaan kepemimpinan ASEAN. Selama 20 tahun terakhir tidak ada satu  pun pemimpin negara ASEAN yang berani mengambil inisiatif kepemimpinan  di ASEAN. Mereka cenderung kurang memedulikan kerja sama regional,  menyebabkan divergensi makin menguat. Masalah penanganan pengungsi  Rohingya dan kabut asap menjadi contohnya. 
Ketujuh, para pejabat tinggi negara ASEAN cenderung bersifat wait and see dan menghindari komitmen. Mereka sering kali menyesalkan kerja sama  ASEAN yang tidak maju-maju tanpa berani melakukan terobosan. Hal  tersebut laksana orang yang hanya menunggu buah jatuh dari pohon tanpa  berusaha mengambil buah dengan cara lain. Lee (2006) dalam penelitiannya  menyatakan bahwa ASEAN bersandarkan pada mimpi integrasi dan satu  komunitas, tetapi cenderung menuju kegagalan karena berbasis pada kerja  sama antarpemerintah yang lemah. 
Kedelapan, ASEAN saat ini sedang  terbelah oleh berbagai kerja sama kawasan lain yang lebih dinamis dan  menjanjikan bagi negara pesertanya, seperti Kerja Sama Ekonomi Asia  Pasifik (APEC) dan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). APEC memberikan  dorongan yang lebih dinamis bagi kerja sama ekonomi meskipun bersifat  sukarela dan tak mengikat secara hukum. Sementara itu, TPP menawarkan  liberalisasi perdagangan yang sangat ambisius dan menjanjikan akses  pasar yang lebih luas bagi 12 negara anggotanya, termasuk sejumlah  negara ASEAN (Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Singapura) yang menguasai  40 persen ekonomi dunia. 
Kedelapan faktor di atas sulit untuk  diselesaikan tanpa keberanian setiap negara untuk melakukan terobosan.  Apabila dibiarkan berlarut-larut, masa depan kerja sama ASEAN terancam  tidak menentu dan cenderung menjadi arena rendezvous para pejabatnya saja. Ternyata di usia   ke-48, masa depan ASEAN  pun belum pasti.
Andre Notohamijoyo 
Delegasi RI dalam  Forum Kerja Sama ASEAN Bidang Pertanian dan Kehutanan; Bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan                         
                            Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Masa Depan ASEAN".                        
0 comments:
Posting Komentar