Skip to content

Senin, 07 Maret 2016

Tobias Neumann: „Moldawien – da geht noch was!

Etwas traurig war ich schon, als ich die Nachricht erhielt, dass der Konvoi in die Ukraine dieses Jahr Opfer politischen Taktierens im Umfeld der Assoziierungsgespräche zwischen der Ukraine und der EU geworden war und abgesagt werden musste. Vergebens das Hoffen bis zum Schluss, die ganze Arbeit vom Maxim, Damien und Udo. Und verdammt viele Kinder, die dieses Jahr keinen Gruß von Kindern aus Deutschland zu Weihnachten bekommen sollten.

Aber? neben der Freude, Peter und Michael, die letztes Jahr schon zum wiederholten Mal in Odessa und Umgebung waren, nach einem Jahr wiederzusehen, war da eine immense Neugier auf ein mir bisher unbekanntes Land und neue Konvoiteilnehmer. Bei letzteren stellte sich schnell heraus, dass die Zusammensetzung ebenso gelungen war, wie letztes Jahr. Viele interessante Gespräche während der nur kurzen (!) Reisezeit, alle haben mit angefasst, wenn es darauf ankam, jeder hat sich eingebracht und viel zum Gelingen der Teamleistung beigetragen.

Und auch Moldawien konnte von Anfang an Punkte sammeln: neben einer herzlichen Aufnahme von sehr bemühten Rotariern, großem Interesse der deutschen Botschaft und örtlicher Medien hatte ich schnell das gute Gefühl, dass die Bereitschaft fremde Solidarhilfe anzunehmen, größer war, als in der Ukraine. Nach ersten Eindrücken in Chisinau (europäische Orientierung erkennbar) hatte ich kurzzeitig Zweifel, ob wir richtig waren. Aber bereits die erste Fahrt mit Michael, Ion und Vitali in eine Randgemeinde von Chisinau, deren Bürgermeister Vitali ist, machte schnell deutlich: hier sind die Päckchen für die Kinder gut aufgehoben. Beeindruckend für mich neben der Spannung der Kinder, der großen Vorfreude auf die Geschenke und das begeisterte Öffnen der liebevoll verpackten und gestalteten Geschenke war die Begegnung mit Vitali: immense Tatkraft und erkennbarer Einsatz mit dem Ziel, das Leben und die Bedingungen in ?seiner? Gemeinde für die Menschen zu verbessern.

Ein Erlebnis war sicherlich die Teilnahme an der Pressekonferenz mit dem Botschafter, Peter, Alex und Adrian. Aber auch die anschließende Fahrt mit Ben (gut durchgehalten!) in Adrians Dacia-Küchenlieferwagen in den Norden bei tollem Wetter hat mir das Land näher gebracht. Alle Übergaben in Singerei waren highlights: ich fühlte die Pakete willkommen, nicht nur von den Kindern, sondern auch von den Erwachsenen, egal ob Betreuer oder Eltern. Besonders rührend: einige Kinder hatten mit einfachen Mitteln Geschenke für die Schenker oder Gedichte vorbereitet. An meine emotionale Grenze gebracht hat mich der Besuch einer Einrichtung für behinderte Kinder: die Riesenfreude, die einfache Luftballons und Süßigkeiten auslösen können, werde ich nicht vergessen.  

Der Höhepunkt der Reise war allerdings Gagausien: Eine solche Armut und widrige Lebensumstände habe ich in Europa nicht für möglich gehalten. Dass im Jahre 2013 fließendes Trinkwasser, wintertaugliche/trockene Räume und hygienische Sanitäranlagen teilweise vollständig fehlen, hat mich umgehauen. Noch mehr, die Vorstellung, dass Kinder unter solchen Bedingungen aufwachsen müssen und Teile der kindlichen Energie dafür draufgehen, damit klarzukommen, anstelle Kind sein zu dürfen. Hier ist auf jeden Fall noch mega-viel zu tun und jeder Punkt der Freude, den ein Weihnachtspäckchen spenden kann, goldrichtig gesetzt. Hoffentlich können wir hier und überall auch im nächsten Jahr wieder helfen!!

Mein Riesendank geht neben Tommy und Peter für die tolle Organisation dem gesamten Team: Ihr habt maßgeblich dazu beigetragen, dass ich eine tolle und unvergessliche Woche erleben durfte! Allen eine fröhliche Weihnacht und? bis nächstes Jahr?

Tobias Neumann (RT117 Hannover)




reff : http://konvoi-nach-odessa.blogspot.com/2013/12/tobias-neumann-moldawien-da-geht-noch.html

Minggu, 06 Maret 2016

Tentang Pusat Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta

Terdorong ingin ikut menyuarakan pentingnya keberpihakan pada masyarakat strata luas pada lini tengah-agak bawah, saya memberanikan diri meng-copy-paste dari sumber aslinya dikampusku dengan alamat sebagai berikut:
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/

 



Pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dipicu oleh keprihatinan terhadap perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia, tidak hanya semakin jauh dari cita-cita proklamasi tetapi juga semakin meminggirkan rakyat dalam proses penyelenggaraan ekonomi. Secara resmi, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang lahir dengan nama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 177/P/SK/HKTL/2002, dengan Kepala Prof. Dr. Mubyarto (Alm).

Perubahan nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan terjadi pada tanggal 3 April 2006 yaitu dengan terbitnya SK Rektor Universitas Gadjah Mada No. 176/P/SK/HT/2006.


Alasan perubahan nama ini antara lain adalah:

(1) untuk menyesuaikan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan; (2) amanat Tap MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 ? 2004; (3) amanat Tap MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional; (4) untuk meningkatkan peran Pusat Studi dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan; (5) untuk memperluas peluang Pusat Studi dalam mengembangkan diri.

Tujuan pendirian PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah untuk melaksanakan kajian-kajian serius dalam bidang teori dan praksis ekonomi Indonesia, baik yang bersifat induktif-empirik maupun deduktif-logis. Kajian-kajian melalui pendekatan multi-disipliner tersebut dijalankan dengan mengacu langsung pada dasar filsafat dan ideologi nasional. Rumusan tentang cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ?melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial?. Mekanisme operasional untuk mewujudkan cita-cita tersebut terumuskan dalam pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, UUD 1945. Pasal-pasal ini sesungguhnya merupakan upaya perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan untuk mengoreksi struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kegiatan utama PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sistem ekonomi kerakyatan di berbagai tempat di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut sebagian besar diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel ilmiah. Selama periode 2002 ? 2005, tidak kurang dari 32 judul buku dan makalah yang diterbitkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Kegiatan penting lainnya adalah pelatihan, lokakarya, dan seminar bulanan. Permasalahan Permasalahan yang digarap oleh PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM tidak dapat dipisahkan dari semakin dominannya pengaruh globalisasi dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Saat ini globalisasi memang merupakan mantra yang selalu harus dilekatkan pada setiap gerak ekonomi, bahkan menjadi resep mujarab (prescription) bagi pemecahan berbagai masalah dunia.

Ada keyakinan global bahwa perdagangan dan pergerakan kapital dan informasi yang berlangsung secara bebas akan menghasilkan hal terbaik bagi kemajuan perekonomian dunia. Dengan demikian, globalisasi dan liberalisasi dipandang sebagai cara terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Itulah kini yang banyak diyakini orang dan secara sistematis disosialisasikan oleh IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan dunia (WTO).



Globalisasi dalam pengertian inilah yang disebut dengan globalisasi neoliberal. Neoliberalisme adalah satu gerakan yang ingin mengusung ideologi kapitalisme-liberalisme klasik yang mendambakan kebebasan penuh, yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir dan kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang. Sementara itu, paradigma pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni ajaran-ajaran ekonomi Neoklasik yang sarat dengan kepentingan kaum fundamentalis pasar.

Paradigma pendidikan ekonomi seperti itu tidak hanya bias terhadap usaha-usaha besar di sektor modern tetapi juga abai terhadap ekonomi rakyat tempat sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan nasibnya. Secara sistematis sistem pendidikan ekonomi yang bercorak kapitalis-neoliberal tersebut dikukuhkan dalam desain kurikulum, metode pembelajaran, buku-buku ajar, dan kerangka berpikir staf pengajar ilmu ekonomi yang berorientasi neoliberal.




reff : http://politik-ekonomirakyat-marissahaque.blogspot.com/2009/11/tentang-pusat-ekonomi-kerakyatan-ugm.html

IZIN USAHA WARNET PERORANGAN



NO KETERANGAN
1 Permohonan Kepada Kasudin Kominfomas Jaksel 
2 Fotocopy KTP Pimpinan / Penanggung Jawab 
3 Fotocopy NPWP Pribadi
4 Fotocopy Domisili dan PM. 1  dari Lurah dan Camat yang mencantumkan keterangan peruntukan wilayah  Perkantoran / Ruko dan tidak diperbolehkan peruntukkannya untuk perumahan (ASLI dibawa). 
5 Foto penanggung jawab usaha atau Direktur Utama berwarna ukuran 4 x 6 = 2 lembar latar belakang berwarna
6 Fotocopy Kontrak Kerjasama dengan Provider Penyedia Jasa Jaringan Internet
7 Surat Pernyataan Kesanggupan Operasional Usah Warnet Maksimal s/d jam 24. 00 WIB. 
8 Surat Pernyataan Kesanggupan Memberikan pelayanan terbaik bagi pengguna / pemakai jasa warnet dan juga memberikan rasa kenyamanan dan ketentraman di lingkungan masyarakat setempat
9 Surat Pernyataan Kesanggupan Bersedia menjadi Anggota AWARI
10 Surat Pernyataan Kesanggupan melaksanakan program internet sehat dan aman
11 Membayar SKRD / Surat Ketetapan Retribusi Daerah (Warnet)




reff : http://ptspjaksel.blogspot.com/2013/12/izin-usaha-warnet-perorangan.html

Sabtu, 05 Maret 2016

Os TrĂŞs caminhos

Os tr?s caminhos esforço, conhecimento e amor


 O primeiro é o caminho da aç?o - o mais duro, o mais difícil, Moisés, Maomé, Rama, Patanjali, - essas pessoas pertencem ao caminho da aç?o, algo tem que ser feito para alcançar Deus; grande esforço é necessário, esforço absoluto é necessário, ele é árduo e penoso. Mas há pessoas que sempre gostam de ir pelo caminho mais difícil. Essa é a sua escolha - elas amam isso, elas amam o desafio disso.


O segundo caminho é o caminho do conhecimento. Está no meio - nem muito difícil, nem muito simples, nem muito fácil, nem muito complexo também. O primeiro é muito complexo, o segundo é o caminho do conhecimento, exatamente no meio. Buda - Buda chamou o seu caminho de caminho do meio, majjhim nikai - Mahavira, Shankara, Ramana, Krishnamurti: essas s?o pessoas que percorrem o caminho do conhecimento. Ele n?o é t?o árduo como o primeiro, e n?o é t?o relaxado quanto o terceiro; está exatamente no meio. As pessoas que n?o s?o muito masculinas e n?o s?o muito femininas seguem este caminho.


O terceiro é o caminho do amor - o caminho da devoç?o, bhakti. Narada, Chaitanya, Meera, Sahajo, Ramakrishna - estas s?o pessoas que trilharam esse caminho. É o mais simples, mais direto, mais íntimo. Voc? n?o pode achar nada mais fácil. Esse é o atalho; ele n?o é penoso. Voc? n?o precisa fazer nada - nesse caminho, o fazer será sua destruiç?o. Voc? só precisa relaxar e confiar.


                                                         Siddhartha -Buda

Durante seis anos, Siddhartha e os seus seguidores viveram em sil?ncio e nunca sairam da floresta.
Para beber, tinham a chuva, como comida, comiam um gr?o de arroz ou um caldo de musgo, ou as fezes de um pássaro que passasse.
Estavam tentando dominar o sofrimento tornando as suas mentes t?o fortes que se esquecessem dos seus corpos.
Ent?o... um dia, Siddhartha escutou um velho músico, num barco que passava, falando para o seu aluno... Se apertares esta corda demais, ela rebenta; e se a deixares solta demais, ela n?o toca.
De repente, Siddhartha percebeu de que estas palavras simples continham uma grande verdade e que durante todos estes anos ele tinha seguido o caminho errado.
Se apertares esta corda demais, ela rebenta e se a deixares solta demais, ela n?o toca.
Uma alde? ofereceu a Siddhartha a sua taça de arroz.
E pela primeira vez em anos, ele provou uma alimentaç?o apropriada.
Mas quando os ascetas viram o seu mestre banhar-se e comer como uma pessoa comum, sentiram-se traídos, como se Siddhartha tivesse desistido da grande procura pela iluminaç?o.
Siddhartha os chamou:
Venham e comam comigo.
Os ascetas responderam:
Traíste os teus votos, Siddhartha.
Desistiu da procura.
N?o podemos continuar a te seguir.
N?o podemos continuar a aprender contigo.
E foram se retirando, Siddharta disse:
Aprender é mudar.
O caminho para a iluminaç?o está no Caminho do Meio.
É a linha entre todos os extremos opostos.
O Caminho do meio foi a grande verdade que Siddhartha descobriu, o caminho que ensinaria ao mundo.


                                               
O amor precisa ser uma realidade na sua vida, n?o só um poema, n?o só um sonho.
Ele tem de ser concretizado.
Nunca é tarde demais para viver amor pela primeira vez, aprenda a amar, poucas pessoas sabem amar.
Todas elas sabem que o amor é necessário, todas elas sabem que, sem amor a vida n?o tem sentido.
Mas elas n?o sabem amar.
E seja o que for que elas façam em nome do amor, n?o é amor é sempre outra coisa diferente.
É uma mistura de ciúme, raiva,ódio, possessividade, dominaç?o, ego.
Todos esses venenos destroem o verdadeiro néctar do amor.
Amar significa livrar-se de todos esses venenos e depois disso, aos poucos voc? começará a ver um novo tipo de amor brotar dentro de si.




#caminho do meio# buda#amor#siddhartha


Mohan Chandra Rajneesh*  Osho.




reff : http://fisiarte.blogspot.com/2015/11/os-tres-caminhos.html

Penulis nama besar ego?


Oleh Nurul Farina Nazlan
Tidak benarkan karya mereka disunting editor kerana berasa sudah mantap

BIASA didengar bahawa penulis yang ada nama besar enggan membenarkan sebarang suntingan kepada karya mereka kerana beranggapan karyanya sempurna dan kerenah ini akan menyukarkan editor menyempurnakan tugas mengikut syarat ditetapkan sesebuah syarikat penerbitan.

Lazimnya juga didengar bahawa penulis yang ada nama besar egonya tinggi sehingga enggan membenarkan editor menyunting karya mereka, sedangkan ada kalanya berlaku juga penurunan mutu karya yang berpunca daripada tema klise dan terlalu kerap berkarya dalam tempoh masa singkat sehingga idea tidak sempat ?diperam? dengan baik.

Tidak dinafikan, manuskrip yang baik adalah satu daripada faktor kejayaan sesebuah novel dan memberi banyak kelebihan kepada penulis untuk menempa nama di kalangan pembaca, namun novel itu juga pasti tidak akan berjaya sekiranya tiada semakan dan sentuhan daripada editor.

Editor Kanan Buku Prima, Mohd Ali Mohd Noor, berkata setiap bulan beliau menerima hampir enam manuskrip mentah dan semuanya memerlukan penelitian rapi, membabitkan keseluruhan aspek penulisan terutama jika diterima daripada penulis baru.

?Penulis baru bagi saya tidak banyak kerenah kerana apa saja yang dicadangkan seperti penambahan plot, jalan cerita, konflik, teknik persembahan, aksi dan watak, tidak menjadi halangan bagi mereka. Mereka akan mengikut keadaan penerbit kerana yakin dengan kemampuan editor bagi membantu penerbitan karya yang baik.

?Namun, bagi penulis lama yang sudah pun menghasilkan dua atau tiga novel, mereka inilah yang banyak kerenah. Ada saja alasan diberi agar manuskrip tidak dipinda atau ditambah isinya, tetapi saya tidak pernah beri muka kepada mereka serta menetapkan syarat iaitu memberi kerjasama kepada editor atau cari penerbit lain,? katanya kepada Sastera melalui e-mel, baru-baru ini.

Beliau yang amat mementingkan kualiti agar novel terbitan Buku Prima mendapat sambutan menggalakkan daripada pembaca turut mengakui ada penulis yang malas membuat penyelidikan sebelum menghasilkan manuskrip sehingga cerita yang dihasilkan bersifat stereo taip dan tidak mengikut perkembangan semasa.

?Saya kerap berdepan dengan situasi penulis hanya menulis apa yang terlintas di kepalanya sehingga tema serupa ditulis, sedangkan dia pernah menulis tema sama sebelum ini. Untuk mengelakkan perkara ini berlaku, saya sering memberitahu penulis agar menghasilkan tema berlainan bagi memastikan novel terbitan Buku Prima tidak tertakluk pada satu tema.

?Bagi saya, penulis perlu bersikap rendah diri, walaupun sudah ada peminat kerana tidak semestinya karya berikutnya mendapat sambutan. Mesti ada kelemahan yang tidak disedari dan kerana itu penulis memerlukan editor untuk menyemak serta membaiki karya agar mutunya terjaga dan tidak membosankan pembaca,? jelasnya.

Penulis prolifik, Aina Emir pula mencadangkan agar penulis berbincang terlebih dulu dengan penerbit agar tidak berlaku sebarang kekeliruan dan idea boleh dibincangkan bagi membantu pengarang merancang dan menulis mengikut keperluan pasaran semasa.

?Sekiranya perbincangan terperinci sudah dijalankan, penerbit tidak perlu campur tangan berkenaan gaya penulisan kerana bagi saya itu kreativiti penulis. Penulis yang bijak perlu tahu mencari kelainan dalam penulisan dan penerbit juga berhak menegur serta menolak manuskrip sekiranya penulisan tidak memenuhi apa yang dibincangkan.

?Dalam hal ini, penulis tidak perlu berkecil hati kerana tugas mereka menulis secara bijaksana dan terserah kepada pembaca menerima atau menolaknya. Saya sendiri sentiasa bertanya dengan pembaca yang rapat, rakan dan penerbit berkenaan isu yang wajar saya bangkitkan untuk karya terbaru,? katanya.

Bagaimanapun beliau juga berasa editor dan penerbit tidak boleh terlalu mencampuri dan mengubah karya sedia indah, sekiranya penulis adalah nama besar di pasaran serta mutu karya terjaga, tanpa menafikan bukan semua penulis kelompok terbabit mampu mempertahankan wibawa karya, lalu perlu berfikiran terbuka serta sedia menerima teguran.

Pengurus Penerbitan dan Editor PTS Publications & Distributors Sdn Bhd (PTS), Asma Fadila Habib, menjelaskan perkara utama yang dilihat penerbit dalam proses penyuntingan ialah isi dan jalan cerita yang menepati polisi syarikat, manakala suntingan membabitkan dua aspek iaitu bahasa serta jalan cerita.

?Pada kebiasaannya, penulis akan lebih terbuka terhadap kerja suntingan yang dilakukan editor, jika penerangan awal sudah diberikan berhubung polisi syarikat yang perlu dipatuhi dalam berkarya. Namun, ada juga kes penulis berkeras mahu mengekalkan sesuatu plot dan idea tertentu di dalam penulisannya.

?Apabila masalah ini berlaku, kami akan mengadakan perbincangan secara terbuka dan membawa pakar dalam isu yang digarap penulis. Kami juga akan menjelaskan rasional sesuatu perkara itu ditolak dan selalunya perbincangan ini akan lebih memberi kefahaman kepada penulis,? jelasnya.

Asma turut menekankan bahawa PTS menerapkan empat perkara dalam penerbitan karya iaitu memenuhi kehendak pasaran, membawa keuntungan, memberi kebaikan kepada masyarakat dan bersifat mendidik serta pada masa sama menerapkan unsur dakwah secara tidak langsung dalam karya.

?Perkara ini amat penting diterangkan kepada penulis agar mereka memahami tanggungjawab bahawa berkarya bukan hanya mahu menghasilkan buku, tetapi medan penyampaian ilmu. Dengan cara ini penulis akan lebih berhati-hati ketika dalam berkarya,? katanya.

Baginya setiap penulis sama ada bernama atau sebaliknya, perlu dilayan sama rata dan perlu mematuhi polisi penerbitan syarikat dan budaya 'pilih kasih' di kalangan penulis tidak boleh menjadi amalan editor demi kebaikan penulis, editor dan juga syarikat.




reff : http://dkelopak.blogspot.com/2013/02/penulis-nama-besar-ego.html