TUGAS TERSTRUKTUR: DOSEN PEMBIMBING:
Tafsir Tematik Aqidah Ade Jamaruddin,SS.M.A
KONSEP MAKRIFAT PIKIRAN MANUSIA DENGAN ALLAH
DITINJAU DARI ASMAUL HUSNA DAN SIFAT-NYA
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH TAFSIR TEMATIK AQIDAH
DEBRI KOESWOYO
ZULBAIDA
FAKUTAS USHULUDDIN JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah,segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang benar. Makalah yang berjudul Konsep Makrifat Pikiran Manusia Dengan Allah Ditinjau Dari Asmaul Husna Dan Sifat-Nya disusun guna semakin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT melalui akal yang diberikan oleh-Nya.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pekanbaru. Oktober 2015
Penyusun
Daftar Isi
Kata pengantar ..................................................................................................................... 2
Daftar isi................................................................................................................................. 3
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang....................................................................................................................... 4
Rumusan Masalah.................................................................................................................. 4
Tujuan Penulisan.................................................................................................................... 5
BAB II Pembahasan
A. Makrifat kepada Allah melalui pikiran......................................................................... 6
B. Makrifat Kepada Allah Melalui Asmaul Husna dan Sifat-Nya....................................... 8
C. Kemustahilan Mengetahui Zat Allah.......................................................................... 12
D. Sifat-Sifat Allah???????????.???????????????..16
E. Mengenal Asma Wa Shifat Allah SWT???????.??????????..21
BAB III Penutup
kesimpulan ............................................................................................................................ 24
Daftar pustaka....................................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad Saw untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini, al-Qur?an berisi ayat-ayat yang secara etimologis berarti ?tanda-tanda? yang melingkupi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk aspek pengetahuan. Secara global pengetahuan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu ilmu dan ma?rifah. Sebagian pakar mengidentifikasikan ?ilm (ilmu) sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar atau logika disebut, dan ma?rifah sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin dan kontemplasi.[1]
Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam al-Qur?an dan bimbingan Nabi saw. mengenai wahyu tersebut. Al-?ilm sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah Swt. Secara prinsipil pandangan al-Qur?an tentang ilmu dapat diketahui dari analisis wahyu pertama yang diterima Nabi saw. yaitu surah al-?Alaq ayat 1-5. Hal yang ditekankan sehubungan dengan kelima ayat tersebut antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Banyaknya ayat al-Qur?an dan hadis Nabi saw. Tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini adalah memperoleh ilmu tersebut. Iqra? merupakan simbol pengetahuan ilmu dan bi ismi Rabbik adalah simbol pengetahuan ma?rifah. Iqra? tanpa bismi Rabbik sama dengan ilmu tanpa agama, dan bi ismi Rabbik tanpa iqra? sama dengan agama tanpa pengetahuan. Pencapaian ketakwaan tidak mungkin diraih kecuali dengan ilmu dan ma?rifah.[2] Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut, yaitu ilmu dan ma?rifat. Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma?rifat. Kata ilmu dalam al-Qur?an tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan ajaran agama dan alam akhirat, tetapi menyangkut pula masalah-masalah lain (dunia dan keduniaan). Banyaknya ayat al-Qur?an yang berbicara mengenai ilmu dan ma?rifah menjadikan hal ini penting untuk dikaji. Fungsi al-Qur?an bukan hanya sebatas untuk dibaca, tetapi juga sebagai media dialog dengan orang-orang yang berakal untuk berpikir tentang hal-hal yang mereka dengar dan mampu berdialog aktif serta berperan aktif dalam pembentukan pola pikir manusia.[3]
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana makrifat kepada Allah dengan pikiran?
2. Bagaimana makrifat kepada Allah dengan memahami Nama-nama dan sifat-sifat Allah?
3. Bagaimana kemustahilan mengetahui Zat Allah?
4. Apasajakah sifat-sifat Allah Ta?ala?
c. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami dan makrifat kepada Allah dengan pikiran
2. Untuk memahami makrifat kepada Allah dengan memahami Nama-nama dan sifat-sifat Allah.
3. Untuk memahami kemustahilan mengetahui Zat Allah
4. Untuk mengetahui sifat-sifat Allah Ta?ala
BAB II
PEMBAHASAN
Dari segi bahasa Ma?rifat berasal dari kata arafa, ya?rifu, irfan, ma?rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman.[4]Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma?rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam bathinnyadengan mengetahui rahasianya.[5]Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[6]
A. Makrifat Kepada Allah Melalui Pikiran
Kata ma?rifah merupakan kata bahasa Arab dalam bentuk mashdar mim yang akar katanya terdiri dari ? - ? - ? huruf. Dalam Mu?jam Maqayis al-Lugah, lafal tersebut memiliki dua makna dasar, yaitu sesuatu yang berurutan satu sama lain secara kontinyu atau sudah menjadi kebiasaan dan makna kedua adalah ketenangan dan kedamaian.[7]Ibrahim Mushthafa mengatakan bahwa makna ma?rifah adalah sesuatu yang dicapai dengan salah satu anggota indra.[8]
???? ????????? ?????? ??? ???????????? ??????????? ????? ??????? ????????? ??????????? ???? ?????? ??? ???????????(101)
Artinya: ??Katakanlah, Perhatikan olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi.? (Q.S Yunus: 101)
???????? ?????? ??????? ???????? ????????????? ?????? ????? ????? ???? ??????? ???????? ????????????? ??????????? ???? ?????? ??????? ????????? ??? ??????? ???????(22)
Artinya: Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Zumar, 39: 22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapat petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam makrifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran makrifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Quran.[9]
Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang berbunyi:
?????? ???????? ????????? ?????????? ???? ???????? ?????????? ????????? ????????????? ?????????? ?????????????
Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku. (Hadits Qudsi).
Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma?rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[10] Firman Allah dalam Q.S Al Fajr 27-28:
????????????? ????????? ????????????????(27 ???????? ????? ??????? ????????? ???????????(28))
Artinya: ?Hai nafsu (jiwa) yang tenang (suci). Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan (hati) yang ridha dan diridhai.?
Sesungguhnya telah jelas tersampaikan pada ayat diatas bahwa sesungguhnya jiwa yang tenang adalah jiwa yang senantiasa kembali kepada Tuhannya baik dalam kondisi lapang maupun sempit, susah ataupun senang, ragu maupun yakin, dan berbagai situasi serta kondisi jiwa yang kompleks. Manusia yang senantiasa sadar Allah dan fokus Allah, maka jiwa dan bathinnya akan senantiasa terjagakan oleh curahan cahaya kesucian Sang Ilahi dengan atas kehendakNya. Sehingga dalam setiap aktifitas gerak hati, pikir maupun tubuh, mengalir cahaya kemurnian nan termuliakan dengan atas kehendak Allah. Itulah manusia yang berada dalam dimensi keridhaan Allah yang sebenar-benar keridhaanNya dengan atas kehendakNya.[11]
Alat yang digunakan untuk ma?rifat telah ada dalam diri manusia yaitu Qalbu (hati), qalbu selain alat untuk merasa juga alat untuk berfikir. Bedanya Qalbu dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan.[12]Sedangkan Qalbu bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada dan jika dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalbu yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahu rahasia-rahasiaTuhan, yaitu saat hati tersebut disinari cahaya Tuhan. Proses sampainya qalbu pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli.[13]
Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui tobat, selanjutnyaTahalli yaitu menghiasidiri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan Tajalli adalah terbukanya hijab sehinggatampak jelas cahaya Tuhan. Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Dengan demikian ia dapat mengetahui apa-apa yang tidak bisa diketahuimanusia biasa. Orang yang sudah mencapai makrifat akan memperoleh hubungan langsung dengan Allah.[14]
B. Makrifat Kepada Allah Melalui Asmaul Husna dan Sifat-Nya
Ada beberapa i?tiqod (keyakinan) yang seharusnya menjadi pegangan dan keyakinan seorang muslim mengenai asma? wa shifat (nama dan sifat Allah). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah- mengatakan:
??? ??????? ??????? ?????? ????? ?????? ???? ???????? ? ???? ???????? ???? ????????? ? ??? ??????????? ?????????? ????????????
?Allah tidaklah disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al Qur?an dan Al Hadits.
Shahih Bukhari
?????????? ????? ?????????? ??????????? ???????? ?????????? ????? ?????????? ???? ??????????? ???? ????? ?????????? ?????? ??????? ?????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????? ??????? ???????? ??????????? ?????? ??????? ?????? ???????? ???? ?????????? ?????? ??????????
Telah bercerita kepada kami [Abu Al Yaman] telah mengabarkan kepada kami [Syu'aib] telah bercerita kepada kami [Abu Az Zanad] dari [Al A'raj] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Siapa yang menghitungnya (menjaganya) maka dia akan masuk surga".
Madzhab salaf dalam mengimani sifat Allah adalah menetapkan dan memahaminya secara zhohir (tekstual), mereka menolak menyebutkan hakikat (kaifiyah) sifat tersebut dan mereka tidak melakukan tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).
????????? ???????????? ?????????? ?????????? ????? ???????? ????????? ??????????? ??? ??????????? ???????????? ??? ??????? ???????????(180)
Artinya: hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.(al-A?raf:180)
?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????????? ?????? ???????? ???????? ?????? ????????? ?????????? ??? ???????????? ??????????? ?????? ?????????? ??????????(27)
Artinya: dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ruum: 27)
Keyakinan tentang sifat Allah seperti keyakinan tentang Dzat-Nya. Maksudnya, sifat, dzat, dan perbuatan Allah tidak serupa dengan apapun. Karena Allah memiliki dzat secara hakiki dan dzat-Nya itu tidak serupa dengan dzat apapun selain-Nya, maka demikian pula sifat-sifat Allah yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah menyandang sifat-sifat tersebut secara hakiki dan tidak serupa dengan apapun.Semua nama Allah adalah baik dan sama sekali tidak ada yang buruk, karena nama-nama itu menunjukkan dzat yang memiliki nama tersebut yaitu Allah. Nama-nama itu menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan yang tidak mengandung kekurangan sedikitpun dari segala sisi.
Allah Ta?ala berfirman:
??????? ???????????? ??????????? ?????? ?????? ???? ???????????? ?????????? ?????? ???????????? ?????????? ???????????? ????? ?????? ?????????? ?????? ?????? ?????????? ??????????(11)
Artinya: tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (Q.S.as-Syura:11).
Mengenai pernyataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni di atas juga kita jumpai dalam perkataan ulama lainnya. Imam Ahmad bin Hambal ?rahimahullah- mengatakan,
??? ??????? ??????? ?????? ????? ?????? ???? ???????? ? ???? ???????? ???? ????????? ? ??? ??????????? ?????????? ????????????
?Allah tidaklah disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al Qur?an dan Al Hadits.?[15]
Dalam pernyataan di atas yang tentu saja hasil dari penelitian dan penyimpulan Al Qur?an dan As Sunnah, kita dapat mengatakan bahwa i?tiqod yang mesti diyakini seorang muslim adalah sebagai berikut.[16]
Pertama: Hendaklah seseorang menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta?ala dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya.
Kedua: Penetapan nama dan sifat Allah di sini tanpa melakukan tahrif dan ta?thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil.
Tahrifadalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir (menginginkan kebaikan).
Ta?thiladalah menolak nama atau sifat Allah. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.
Takyifadalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain. Seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.
Tamtsiladalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan sama dengan tanganku.
Keempat hal ini terlarang dalam mengimani nama dan sifat Allah. Karena Allah subhanahu wa ta?ala berfirman,
?????? ?????????? ?????? ?????? ?????????? ??????????
?Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.? (QS. Asy Syura: 11)
?????? ?????????? ??????
?Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia? adalah bantahan terhadap orang yang melakukan takyif dan tamtsil, yaitu yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk atau menyebutkan hakekat sifat Allah padahal yang mengetahuinya hanyalah Allah.[17]
?????? ?????????? ??????????
?dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat? adalah bantahan untuk orang yang melakukan tahrif dan ta?thil. Karena dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah memiliki sifat mendengar dan melihat. Makhluk pun memiliki sifat mendengar dan melihat, namun tentu saja kedua sifat Allah ini berbeda dengan makhluk. Oleh karenanya, kedua sifat tersebut tidak boleh ditahrif (diselewengkan) maknanya dan tidak perlu dita?thil (ditolak maknanya). Sebagaimana hal ini juga berlaku untuk sifat-sifat Allah lainnya.[18]
Shahih Bukhari
?????????? ??????? ???? ?????? ??????? ?????????? ????????? ????? ??????????? ???? ????? ?????????? ???? ??????????? ???? ????? ?????????? ????????? ????? ??????? ???????? ??????????? ?????? ??????? ?????? ???????? ??? ??????????? ?????? ?????? ?????? ?????????? ?????? ?????? ??????? ?????????
Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdullah] telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dia berkata; Kami hafal dari [Abu Az Zinad] dari [Al A'raj] dari [Abu Hurairah] secara periwayatan, dia berkata; "Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, tidaklah seseorang menghafalnya melainkan ia akan masuk surga, dan Dia adalah witir dan menyukai yang ganjil."
Ketika memahami sifat Allah pun mesti seperti itu. Hendaklah kita memahami secara zhohir, sesuai makna yang tertangkap dalam benak kita tanpa kita takwil (palingkan) ke makna lainnya tanpa adanya indikator atau dalil. Inilah yang diperintahkan dalam Al Qur?an ketika kita memahami ayat Al Qur?an. [19]Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut ini. Allah Ta?ala berfirman,
????????? ??????????? ????? ????????????? (192) ?????? ???? ???????? ?????????? (193) ????? ???????? ????????? ???? ?????????????? (194) ????????? ????????? ??????? (195)
?Dan sesungguhnya Al Qur?an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.? (QS. Asy Syu?ara: 192-195). Dalam ayat lain, Allah Ta?ala berfirman,
?????? ??????????? ????????? ?????????? ??????????? ???????????
?Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur?an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).? (QS. Asy Syu?ara: 195). [20]
Ayat ini pun demikian yaitu menjelaskan bahwa Al Qur?an itu diturunkan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami secara zhohir, tanpa perlu dipalingkan ke makna lainnya.[21]
Begitu pula Allah Ta?ala memerintahkan agar kita mengikuti apa yang Allah turunkan, artinya sesuai yang kita pahami di benak kita. Allah Ta?ala berfirman,
?????????? ??? ???????? ?????????? ???? ????????? ????? ??????????? ???? ??????? ???????????
?Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.? (QS. Al A?rof: 3)[22]
C. Kemustahilan Mengetahui Zat Allah
Sesungguhnya hakikat dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal. Akal tidak akan mampu mengetahui hakikat-Nya. Sebab dzat Tuhan memang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Manusia tidak dibekali sarana untuk menjangkaunya. Sesungguhnya akal manusia meskipun kecerdasan dan kemampuannya untuk mengetahui sesuatu telah mencapai puncaknya, namun ia sangat terbatas dan sangat lemah untuk mengetahui hakikat berbagai hal. Akal tidak mampu mengetahui (hakikat) jiwa manusia itu sendiri. Pengetahuan tentang jiwa masih merupakan salah satu persoalan yang sulit dipecahkan oleh ilmu pengetahuan maupun filsafat. Akal tidak mengetahui hakikat cahaya. Padahal cahaya merupakan barang yang paling tampak dengan sangat jelas.
Ketidakmampuan Mengetahui Hakikat Sesuatu Tidak Berarti Menafikan Keberadaannya. Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk mengetahui hakikat sesuatu, dan ketidakmampuan akal untuk mengetahui hakikat jiwa manusia tidaklah berarti menafikan keberadaannya. Kelemahan akal untuk mengetahui hakikat cahaya tidak berarti menafikan adanya cahaya yang memancar di berbagai ufuk. Kelemahan akal pikiran untuk mengetahui hakikat atom tidaklah menunjukkan bahwa atom-atom yang membentuk benda-benda itu tidak ada. Demikian pula semua benda yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh akal pikiran manusia. Demikian pula mengenai Dzat Tuhan. Bila manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya, maka tidak berarti bahwa Dia tidak ada, bahkan Dia ada dan keberadaan-Nya jauh lebih kuat dari segala yang ada.
???? ???????? ???? ?????? ?????? ???? ???? ?????????????(35) ???? ???????? ???????????? ??????????? ??? ??? ??????????(36)
Artinya: ?Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidaklah meyakini apa yang mereka katakan.? (QS. Ath-Thuur [52] : 35-36)
Mengenal Zat (Entitas) Tunggal
Penelusuran sifat-sifat ketuhanan dimulai dengan bukti eksistensi konsep Tuhan sebagai Ada (dengan ?A? besar) yang Niscaya (juga dengan ?N" besar) atau Niscaya Ada (Wajib al-Wujud).[23]Ada yang Niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipikirkan ketidakadaannya. Coba pikirkan bagaiman sesuatu yang ada itu tidak ada, pastilah kita akan menemui kontradiksi. Jadi, Niscaya Ada alias Wajib al-Wujud itu adalah keber-Ada-an yang dipastikan wujudnya. Namun, ini hanya membuktikan sebuah keber-Ada-an itu adalah ada yang semua orang tahu. [24]
Kemutlakan Tunggal adalah inti ajaran Islam. Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin. Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang menjadi sumber dari semua wujud-wujud yang lain.[25]Dengan demikian, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka, sebagai bandingan dari Wujud Hakiki atau Zat yang Mutlak. Karena itu, Eksistensi Tuhan bukan untuk dilihat tapi untuk diketahui, sebab melihat Tuhan dengan mata kepala adalah mustahil. Manusia hanya dapat mengetahui Tuhan dengan mata hati tanpa dapat menggambarkan dengan suatu yang bertempat dan berbentuk.[26]
Pengakuan terhadap keesaan Tuhan identik dengan pengerahan persoalan ini kepada Tuhan yang menciptakannya dan yang menguasainya. Tidak ada pencipta selain-Nya. Semua sebab-sebab itu meningkat kepada-Nya dan kembali kepada kekuasaan-Nya. Kita mengetahui-Nya hanya lantaran kita muncul daripada-Nya. Inilah penafsiran pernyataan yang dimunculkan oleh para shadiqin: ?Ketidakmampuan menemukan persepsi, itulah persepsi? (?Ajz al-idrak idrak).
Dalam keadaan tidak mungkin melihat Tuhan, yang harus diketahui manusia ialah usaha terus-menerus dan penuh kesungguhan (mujahadah) kepada-Nya. Ini diwujudkan untuk merentangkan garis lurus antara diri manusia dengan Tuhan. Garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpitan dengan hati nurani.[27]
Karena kemahaesaan-Nya dan kemutlakan-Nya, wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Justru Tuhanlah wujud yang pasti. Abu Hanifah berkomentar, tidak pantas manusia berbicara tentang Zat Allah Swt. Sebab ia telah tercukupkan dengan mengenal dan memahami sifat-sifat-Nya yang telah difirmankan.[28]Persepsi kemanusiaan tidak dibolehkan berbicara sifat-sifat ketuhanan berlandaskan pada akal semata. Tepat di titik ini, kelemahan manusia dalam memahami Wujud Eksistensial Allah Swt. teruraikan. Manusia hanya mampu memahami sifat-sifat-Nya, bukan Wujud eksistensial-Nya. [29]
Memahami Sifat-sifat Allah
Sifat adalah kata bahasa Arab yang merupakan derivasi dari kata wasf (shifat) yang telah diindonesiakan. Sifat dapat diartikan sebagai sebuah sebutan yang dapat menunjukkan keadaan suatu benda.[30]Atau lebih mudahnya, sifat adalah ciri-ciri sesuatu. Dapat juga dipahami, sifat adalah sebuah ciri-ciri (amârah) yang melekat pada diri seseorang dan dapat digunakan sebagai sarana identifikasi.
Dalam ilmu teologi, term sifat menjadi faktor fundamen yang mempengaruhi perbedaan dalam menentukan sifat-sifat Allah. Para mutakallim (teolog) mengartikan sifat adalah suatu unsur selain zat dan tidak harus nampak di luar zat. Pengertian semacam ini mendorong seseorang berpandangan bahwa sifat wajib Allah Swt. berjumlah dua puluh, sementara teolog yang mendefinisikan sifat sebagai unsur di luar zat dan harus nyata adanya, mendorongnya berpendapat bahwa hitungan sifat wajib-Nya hanya berjumlah tujuh.[31]
Bagi manusia yang berpikir dan berjiwa sehat akan mengakui eksistensi Wujud Tuhan, bahkan meniscayakan Wujud-Nya. Karena fitrah yang terkandung dalam hati nurani dan rasio di kepala, memaksakan mengenal Hakikat Tunggal. Disamping, kalau mau sadar dan merenungi format kemanusiaan, dari aspek lahir (jism) dan aspek batin yang meliputi nyawa, nalar, atau unsur hewani, nabati, debu, pasir, batu, udara, angkasa, air hujan, durasi waktu; ada siang ada malam, semua itu menjadi indikasi-indikasi akan Wujudnya Tuhan.
Makanya, Allah Swt. berfirman surat al-Anfal [8]: 22-23:
?? ?? ?????? ??? ???? ???? ????? ????? ?? ?????? ??? ??? ???? ???? ???? ??????? ??? ?????? ?????? ??? ??????
?Sesungguhnya seburuk-buruknya mahkluk berkaki (dabbah) di sisi Allah adalah orang yang tuli dan bisu, yaitu orang-orang yang tidak mau berpikir. Seandainya Allah akan memberi kebaikan terhadap mereka, maka Ia membuka pendengaran mereka. Dan ketika Ia telah membuka pendengaran mereka, maka mereka menolak dan berpaling?.
Meski keajaiban-keajaiban tampak di depan mata, tapi Wujud Allah Swt. tidak dapat diketahu oleh manusia. Eksistensi Tuhan adalah samar (ghaib) menurut mata manusia dan jangkauan nalar. Kendati demikian, dengan mengetahui tanda-tanda kebesaran-Nya maka nalar akan dapat menjangkau Wujud Tuhan. Seandainya Ia berkehendak lain, dalam arti tidak memperkenalkan kepada manusia melalui daya nalarnya, maka siapapun tidak akan menemukan Eksistensi-Nya.[32]
Tapi bukti kosmologis memberi sumbangan pengetahuan kepada kita, bahwa Ada yang Niscaya itu memang benar dan nyata. Keniscayaan Wujud Tuhan terejawantah di balik keunikan-keunikan dan keanekaragaman bentuk ciptaan-Nya. Nalar tidak dapat menerima kondisi tidak adanya Pencipta ciptaan-ciptaan itu. Keberadaan ciptaan menunjukkan Wujudnya Sang Pencipta, atau menurut konsep Aristotelian, Ia dibahasakan sebagai Prima Causa (Penyebab Utama) atas keberadaan setiap yang ada.[33]
D. Sifat-sifat Allah Ta?ala
Allah Swt sebagai Maha pencipta alam semesta ini, selain memiliki asmaul husna (nama-nama yang baik), juga memiliki sifat-sifat luhur yang merupakan penetapan dari kesempurnaan ketuhananNya serta keagunganNya.
sifat-sifat yang menjadi miliki Allah Ta?ala itu, diantaranya ada yang disebut sifat-sifat salbiah dan diantaranya lagi ada yang disebut sifat-sifat tsubutiah.
a) Sifat-sifat salbiah
Sifat salbiah yaitu yang menarik atau meniadakan dari Allah Ta?ala akan sifat- sifat yang tidak sesuai, tidak layak, tidak cocok dengan kesempurnaan DzatNya. Adapun yang termasuk dalam golongan sifat-sifat salbiah, yaitu
Awal dan akhir:
Allah SWT adalah Maha Awwal yakni Maha Dahulu. Artinya bahwa Allah SWT tidak ada permulaan bagi wujudnya. Jadi wujud atau adanya Allah Ta?ala tidak pernah didahului oleh ketiadaan sebelumya.
Allah SWT adalah Maha Akhir yakni Maha Belakang. Artinya tidak ada akhir atas penghabisan bagi WujudNya. Allah adalah maha kekal dan puncak keakhiranNya.
Oleh sebab itu, maka Allah Ta?ala itu Maha Azali yakni sudah ada sejak zaman azali yaitu zaman sebelum adanya sesuatu apapun selain Dia sendiri, juga Dia adalah Maha Abadi yakni kekal untuk selama-lamanya. Allah Ta?ala tidak pernah didahului oleh ketiadaan sebelumya dan tidak pernah dihinggapi oleh kerusakan atau kebinasaan, sebab Allah Ta?ala itu memang wajibul wujud yakni wajib adaNya. Dalam hal ini Allah berfirman:
???? ?????????? ?????????? ???????????? ???????????? ?????? ??????? ?????? ???????(3)
Artinya: Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin]; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Hadid: 3)[34]
Allah Ta?ala tidak serupa dengan sesuatu:
Diantara sifat-sifat Allah Ta?ala lainya ialah bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia tidak menyamai segala yang merupakan makhlukNya ini dan tidak sesuatu makhluk pun yang menyamai Dia.
??????? ???????????? ??????????? ?????? ?????? ???? ???????????? ?????????? ?????? ???????????? ?????????? ???????????? ????? ?????? ?????????? ?????? ?????? ?????????? ??????????(11)
Artinya: ?tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.(Q.S. Syura:11)[35]
Allah Ta?ala adalah Maha Esa:
Allah Ta?ala adalah Maha Esa, baik dalam DzatNya, SifatNya serta Af?alNya. Allah Ta?ala berfirman:
???? ??????? ??????? ???? ????????? ??????? ?????????? ?????? ???????? ??? ??????? ??????????? ???? ??????? ?????????? ???????????(4)
Artinya: ? Maha suci Allah. Dialah Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.(Q.S az-Zumar: 4)[36]
b) Sifat-sifat tsubutiah
Adapun Sifat-sifat tsubutiah (sebagai ketetapan keadaan Allah Ta?ala) yaitu:
Kuasa (qudrah):
Allah Ta?alaitu adalah Maha Kuasa, tidak lemah sedikitpun untuk melakukan sesuatu. Apa yang tampak di alam semesta ini, tidak lain hanyah sebagai penjelmaan dari sifat kuasa dan agungnya Allah Ta?ala.
?????? ??????? ??????? ????????? ?????? ?????????? ????????? ???????????? ??????? ???????????(80)
Artinya: dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan dibawah kekuasaanNya pula adanya pertukaran malam dan siang. Maka Apakah kamu tidak menggunakan aqalmu?? (al-Mukminun: 80)[37]
Berkehendak (Iradah):
????????? ???????? ??? ??????? ??????????? ??? ????? ?????? ??????????? ????????? ??????? ?????????? ?????? ???????????(68)
Artinya: dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (al-Qashas: 68).
Mengetahui (ilmu):
?????? ???? ????? ??????? ???????? ??? ??? ???????????? ????? ??? ????????? ??? ??????? ???? ??????? ????????? ?????? ???? ??????????? ????? ???????? ?????? ???? ??????????? ????? ??????? ???? ?????? ????? ???????? ?????? ???? ???????? ?????? ??? ??????? ????? ????????????? ????? ???????? ?????? ???????????? ????? ??????? ??????? ?????? ???????(7)
Artinya: tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (al-mujadalah 7)
Hidup (Hayat)
??????????? ????? ???????? ??????? ??? ??????? ????????? ?????????? ??????? ???? ????????? ????????? ????????(58)
Artinya: dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya (Q.S.al-Furqan: 58)
Berfirman (Kalam)
Artinya: dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.(Q.S. an-Nisa?:164)[38]
Mendengar (Sama?) dan Melihat (Bashar)
???? ?????? ??????? ?????? ??????? ??????????? ??? ????????? ??????????? ????? ??????? ????????? ???????? ?????????????? ????? ??????? ??????? ???????(1)
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S. al-Mujadalah: 1)[39]
E. Menerapkan Makrifat Dalam Kehidupan
Apabila hati sebagai sentral pengetahuan, maka cara memperoleh pengetahuan (makrifat) harus terkonsentrasikan pada hati. Ada beberapa cara untuk memperoleh makrifat:[40]
1. Mujahadah, yakni kesungguhan niat dan kesungguhan usaha menuju pencapaian makrifat.
2. Menghapus sifat-sifat tercela.
3. Mengkonsentrasikan diri pada Allah dengan sepenuh hati.
???? ???? ????: ????? ???? ??? ???????? ????: ???? ???? ???? ???
?Ketika Abi Yazid ditanya: Dengan apa anda mendapatkan makrifat? Dia menjawab dengan perut lapar dan badan telanjang?.
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa makrifat dapat diperoleh melalui riyadlah (latihan) dan mujahadah (usaha dengan sepenuhnya). Makrifat tidak diperoleh melalui berdebat maupun proses pengambilan kesimpulan dengan berbagai dalil. Makrifat hanya diperoleh melalui amal nyata.[41]Seseorang tidak akan menyaksikan dan menyentuh mutiara yang ada di dasar lautan apabila tidak menyelam di dalamnya. Demikian juga ia tidak akan menyaksikan hal-hal yang bersifat ketuhanan tanpa mengamalkan sesuatu ilmu atau syari?at.[42]Semakin seseorang mengalami dan mengamalkan ia akan ditunjukkan oleh Allah dengan berbagai perbendaharaan (ilmu) yang sebelumnya tdak diketahui. Itulah sebabnya semakin adalam amaliyah dan ibadah seseorang maka Allah akan membukakan pintu-pintu ilmu yang semakin menambah keyakinannya.[43][6]
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan makrifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan makrifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishriy yang mengatakan, ada beberapa tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan makrifat, antara lain:
a. Selalu memancarkan cahaya makrifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu sikap wara? selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikankepuusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkankehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa makrifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebenarnya makrifat kepada Allah Swt adalah seluhur-luhur makrifat dan bahkan yang semulia-mulianya, sebab makrifat kepada Allah itulah yang merupakan asas atau fundamen yang diatasnya didirikanlah segala kehidupan kerohanian.
Untuk bermakrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta?ala mempunyai dua cara yaitu dengan menggunakan aqal fikiran dan memeriksa dengan teliti apa-apa yang diciptakan oleh Allah Ta?ala yang berupa benda-benda yang beragam ini dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat-Nya.
Maka dengan menggunakan aqal fikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah dari sudut lain akan dapatlah seorang itu bermakrifat kepada Tuhannya dan ia akan memperoleh petunjuk kearah itu.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi dkk, Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
Cholidi, Ensiklopedi al-Qur?an: Kajian Kosa Kata, Jilid I, Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus IlmuTasawuf, Wonosobo: Amzah, 2005
Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991
Muhammad al-Gazali, al-Qur?an Kitab Zaman Kita, Penerj. Masykur Hakim, Cet. I; Bandung: Mizan, 2008
Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, Malang: UIN Maliki Press, 2010
Nasiruddin, Muhammad, Pendidikan Tasawuf, Semarang: Rasail Media Group, 2009
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf , Jakarta:Rajawali Pers, 2009
Rusli, Ris?an,Tasawuf dan Tarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro, 2006
Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalâm al-Mannân, 'Abdurrahman Nashir al-Sa'di
Maqalat al-Islamin, jil. 1, hal. 225; Silahkan lihat, Ja'far Subhani, Muhadharat fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 2
Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984)
[1] Azyumardi Azra dkk., Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, h. 161.
[2] Cholidi, Ensiklopedi al-Qur?an: Kajian Kosa Kata, Jilid I, (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 330.
[3] Muhammad al-Gazali, al-Qur?an Kitab Zaman Kita (Penerj. Masykur Hakim, Cet. I; Bandung: Mizan, 2008 M). h. 36.
[4]Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 119-120
[5]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus IlmuTasawuf, (Wonosobo: Amzah, 2005), hlm. 142
[6] Op.Cit hlm 76
[7] Ibid hlm 97
[8] Muhammad Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group, 2009), hlm. 101-102
[9] Ris?anRusli, Tasawuf dan Tarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 66-67
[10] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hlm. 229-230
[11]Ibid. Hlm.248
[12]Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam(Malang: UIN Maliki Press, 2010), h.7
[13] Muhammad Nasirudin, Op.Cit hal 78
[14]Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 116
[16]A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 71
[17] Djaliel,Abd.Maman,Tasawuf Tematik (Bandung:CV Pustaka Setia,2003) hlm. 23
[18]At-Tunis, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3.
[19]Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 342.
[20]Ibnu Manzhur, Lisân al-?Arab, vol. 13 (Beirut: Dar Shadir, tt), hlm 268.
[21]Hadariansyah Ab,Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), hal 58
[22]Op.Cit hlm 268
[23]Ibid hlm 267
[24]Maqalat al-Islamin, jil. 1, hal. 225; Silahkan lihat, Ja'far Subhani, Muhadharat fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, pasal 6.
[25]Ibid hlm 231 pasal 6
[26] Mahmud,Halim,Abdul,Tasawuf diDunia islam ( Bandung:Pustaka Setia,2002) hlm 34
[27]Op.Cit hlm 23
[28]Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalâm al-Mannân, 'Abdurrahman Nashir al-Sa'di, hal. 70-71.
[29]Ibid Hlm 69
[30]Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta: Teruna Grafika). Hal. 27
[31]Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143
[32]Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 119-120
[33]Ris?anRusli, Tasawuf danTarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 66-67
[34] Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung:Diponegoro, 2006) 81-82
[35]Ibid 89
[36] Ibid 93
[37] Ibid 104
[38]Ibid. 111
[39]Ibid. 113
[40]Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 119-120
[41]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hlm. 229-230
[42]Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Semarang: Tahaputra, 1989), hlm. 20-21
[43]Mohammad Nasirudin, Pendidikan Tasawuf,.... hlm. 105-106
reff : http://debrikoeswoyo46.blogspot.com/2015/11/tafsir-tematik-maudhui-konsep-makrifat.html
0 comments:
Posting Komentar