Detik.com, 14 Maret 2011, Oleh Zaenal A Budiyono
Judul tulisan ini mengutip kesimpulan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa terkait heboh bocoran kawat diplomatik Amerika Serikat (AS) yang dimuat dua media Australia, The Age dan Sidney Morning Herald (SMH) belum lama ini.
Ghost story', demikian pernyataan Hatta. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Jakarta dibuat geger oleh laporan spesial dalam WikiLeaks Exclusive bertajuk 'Yudhoyono Abused Power'.
Sebuah judul yang tampak 'seram' di telinga. Bukan karena Indonesia negara diktator (tak boleh ada kritik), melainkan isu tersebut juga lama tak muncul di negeri ini. Kata Abuse of Power atau penyalahgunaan kekuasaan terakhir diidentikkan dengan mantan Presiden Suharto dengan korupsi, kolusi dan nepotisme-nya (KKN). Setelah itu pergantian kepemimpinan nasional berlangsung lebih cepat.
Namun tak sampai tuduhan abuse of power melekat ke salah satu presiden kita. Akibatnya, tak menunggu lama, 'tsunami' dari Aussie ini memancing kecaman dari sejumlah pihak di Indonesia. Istana menyebut berita The Age dan SMH hanya obrolan di warung kopi yang belum diuji kebenarannya. Selain itu ada juga yang mempertanyakan media tersebut dalam verifikasi data. Staf Khusus Presiden bahkan menilai ada pelanggaran kode etik jurnalistik universal oleh keduanya. Bagaimana tanggapan Presiden dan First Lady? Lebih dramatis dari yang publik kira. Presiden merasa sangat terpukul dan terkejut. Ia sudah kenyang dengan kritik oleh oposisi dan demonstran setiap harinya, tapi kabar dari Australia benar-benar berbeda.
Mereka sudah menyentuh wilayah personal sehingga tak patut untuk dianggap sebagai kritik di era demokrasi. Ibu negara juga tak kuasa menahan tangis kala membaca tuduhan kejam tersebut. Ia yang diilustrasikan sebagai 'pebisnis' sama sekali tak percaya isu murahan seperti itu bisa muncul di suatu media di negara yang katanya menjunjung tinggi etika dan moral. Memang tak hanya Istana yang menjadi sasaran isu ini. Sejumlah elit nasional juga dituduh 'macam-macam' oleh media-media tersebut. Tercatat nama Jusuf Kalla (JK), Taufiq Kiemas (TK), Sudi Silalahi dan Syamsir Siregar dikaitkan dengan heboh isu ini. TK sejauh ini tak memberikan respons, begitu juga JK. Sementara Sudi dan Syamsir membantahnya. Namun karena Istana dianggap sebagai simbol negara, maka tetap saja peluru dari Australia mengarah ke Presiden dan lingkarannya.
Sebagaimana publik ketahui, The Age dan SMH hanya mendasarkan laporan eksklusifnya pada 'bocoran' kawat diplomatik AS yang dipublikasikan WikiLeaks. Bayangkan, laporan sepenting itu oleh koran ternama hanya berdasar data sekunder. Lain cerita jika kedua media di atas melakukan investigasi mendalam sehingga menemukan data-data kongkrit yang tak terbantahkan. Ini semua tak dilakukan. Lalu apa istimewanya WikiLeaks sehingga harus ditempatkan sebagai 'data gelap' yang spesial? Barangkali karena dunia sekarang ini (termasuk Australia) masih terhegemoni oleh Amerika Serikat (AS). Dunia adalah AS, AS adalah dunia. Makanya apa saja yang datang dari AS walaupun itu sampah, tetaplah dipercaya.
Kunjungan Wapres
Dari heboh soal WiliLeaks Australia, ada pelajaran yang dapat kita petik. Pertama, hubungan antara rezim dan media setempat. Walaupun negara-negara Barat mengangung-agungkan kebebasan absolut sebagai prasyarat demokrasi, faktanya tak seindah yang mereka ucapkan. Lihat saja saat invasi AS ke Irak dan Afghanistan, media negari Paman Sam mendadak sangat pro-rezim, walaupun mereka tahu bahwa ada pelanggaran HAM dan norma-norma internasional. Nah, pada konteks The Age dan SMH, hal itu juga patut kita pertanyakan. Apa motivasi keduanya meng-headline-kan isu WikiLeaks Indonesia saat Wapres Boediono tengah berada di Canberra? Tentu kita mudah menebaknya. Media Australia ingin mempermalukan pemerintah Indonesia. Dan ini bukan yang pertama. Mereka juga pernah merilis kartun hinaan terhadap Presiden SBY.
Sebelumnya, Mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso juga mendapat perlakuan tidak mengenakkan di hotelnya menginap. Australia memang tetangga Indonesia, tapi mereka terkadang juga menjadi musuh dalam selimut. Mungkinkan media menjadi instrumen kepentingan politik luar negeri Australia? Semoga tidak. Tapi melihat track record media AS di atas, bukan tak mungkin hal yang sama terjadi di Australia.
Kedua, WikiLeaks dapat menjadi senjata tanpa tuan dan membuka lembar baru dalam pola diplomasi internasional. Dengan kemajuan teknologi informasi sekarang ini, nyaris tak ada batas antar negara. Semua orang di seluruh dunia dapat saling kontak hanya dalam hitungan detik. Mereka juga dapat saling berbagi data untuk menyerang atau memuluskan kepentingan masing-masing. Dalam konteks seperti ini WiliLeaks sangat strategis. Ia dapat digunakan oleh siapa saja untuk apa saja. Dengan kemasan yang seolah-olah bocoran 'asli' dari AS, mereka dapat menjual isunya sehingga mendapatkan sorotan publik.
Yang harus disadari, WikiLeaks sejatinya tetaplah menguntungkan kepentingan negara-negara Barat. Mereka dapat menjadikan 'data' WikiLeaks untuk menganggu kestabilan politik negara-negara berkembang. Bukan rahasia lagi bahwa Barat di tengah krisis ekonomi global sekarang ini tengah menghadapi ancaman krisis energi. Sementara stok energi sebagian besar terdapat di negara-negara berkembang. WikiLeaks mungkin dapat dijadikan instrumen untuk melakukan penguasaan ekonomi secara silent di sejumlah negara. Dengan gejolak dan instabilitas di dunia ketiga, AS dan sekutunya akan makin mudah masuk dan menancapkan kepentingannya. Ingat, frasa ketergantungan adalah term ampuh yang dipakai Barat untuk mengontrol negara berkembang termasuk Indonesia selama ini.
International Responses
Lalu bagaimana tanggapan pemimpin-pemimpin dunia atas WikiLeaks? Ternyata sebagian besar, utamanya dari negara-negara berkembang, justru tidak percaya dengan bocoran kawat AS itu. "Don't trust WikiLeaks," begitu pernyataan Perdana Menteri (PM) Pakistan, Yousaf Raza Gilani. Sementara, Wakil PM Lebanon, Elias Murr menyimpulkan bahwa data-data kawat AS versi WikiLeaks tidak akurat dan sebagian justru di luar konteks. Tanggapan dari Turki senada, "The unserious cables of American diplomats, formed from gossip, magazines, allegations and slander are spreading worldwide via the internet," kata PM Recep Tayyip Erdogan.
Presiden Hugo Chavez dari Venezuela mengamini tesis di awal tulisan ini, bahwa WikiLeaks tak lebih dari alat politik AS untuk memata-matai negara-negara berkembang. Pemimpin sosialis itu melukiskan WikiLeaks sebagai "dirty war of Yankee embassies in the whole world". Berikutnya, PM Rusia, Vladimir Putir menyebut WikiLeaks tak lebih dari sekedar fitnah yang dikemas rapi.
Memang jika kita telisik, agak janggal negara sehebat AS dapat kehilangan 250.000 lebih nota diplomatik hanya oleh aktivis internet. Pengamanan data dalam diplomasi internasional adalah kemampuan dasar yang harus dipunyai tiap negara. Tidak mungkin negara yang melahirkan Microsoft, Google, Facebook dan ikon-ikon hitech lainnya tak memiliki sistem pengamanan data yang baik dan kuat.
Olah karenanya, madia dan publik di tahan air harus lebih jeli melihat isu WikiLeaks ini. Kini bukan eranya lagi perang tradisional menggunakan tentara, senjata serta ekspansi ke wilayah musuh. Strategi perang berganti lebih canggih dan dilakuakn secara silent tanpa kita menyadari. WikiLeaks mungkin bagian dari perang tersebut. Kita boleh tidak percaya, tapi sesuatu yang baru biasanya memang tak banyak dipercaya, sampai akhirnya kita membahasnya dan baru percaya.
reff : http://opinisatu.blogspot.com/2011/06/hantu-wikileaks.html
0 comments:
Posting Komentar