Pada seri kedua Tetralogi Buru ini menceritakan tentang bagaimana Minke mulai mengenal bangsanya sendiri. Selama ini ia sangat mengutuk budaya Jawa yang sangat kolot dan tidak seperti budaya Eropa yang maju. Ketika ia telah dikabari oleh sahabatnya yang menemani istrinya (Annelis) ke Belanda, bahwasanya ia telah meninggal, betapa perasaan MInke dan mertuanya sangat hancur lebur. Namun sang mertua mampu men-support dia untuk tetap tabah dan sabar,meskipun ia sendiri sangat terluka kehilangan anaknya.
Seiring berjalannya waktu ia mulai menemukan kembali kepercayaannya sebagai pribadi yang kuat,cerdas,dan tangguh di mata orang-orang terdekatnya. Ia kembali menjalankan rutinitasnya sebagai seorang penulis,lalu mengirimkan tulisannya ke berbagai media cetak. Ia pun banyak membantu mertuanya mengurusi perusahaan,dan juga ia tetap tekun belajar disela-sela kesibukannya.
Suatu hari ia diajak oleh mertuanya pulang ke kampong halaman mertuanya. Mereka mengunjungi kakak sulung Nyai Ontosoroh. Kakak mertuanya tersebut termasuk pribumi yang berhasil di kampungnya. Ia memiliki jabatan dalam perusahaan Tebu milik pemerintah Kolonial. Pada suatu ketika ia dipanggil oleh asisten Residen untuk promosi kenaikan jabatan, ia diminta untuk menyerahkan anak sulungnya sebagai imbalan. Ia pun balik ke rumahnya lalu menceritakan kepada istri dan anaknya. Sang istri sangat marah, ia mencaci maki suaminya yang biadab,telah menjual putrinya. Sama seperti ketika ayahnya menjual Nyai Ontosoroh kepada tuan Herman Mellema pada waktu itu. Mengetahui hal itu,sang anak menuruti kehendak sang ayah. Kemudian anaknya minta pamit untuk meninggalkan rumah,menuju rumah sang asisten Residen. Malam hari ia berangkat,melewati perkampungan. Dimana pada saat itu banyak penyakit menular yang menimpa masyarakat di kampungnya. Ia sengaja ingin menularkan penyakit mematikan tersebut pada tubuhnya,lalu ia tularkan pada asisten Residen yang akan meng-gundik-nya. Setelah tertular penyakit mematikan itu dan telah tinggal bersama asisten Residen dalam kurun waktu yang singkat,akhirnya keduanya ditemukan mati bersama di kamar.
Nyai Ontosoroh sangat mengutuk apa yang telah diperbuat oleh sang kakak terhadap anaknya sendiri. Ia lalu balik ke Wonokromo dengan perasaan berduka dan amarah yang menggelegar. Ia tak menyangka hal itu terjadi pada sang keponakan,persis sama apa yang telah dialaminya di masa lalu.
Minke mulai peka melihat realita yang terjadi di negerinya. Ia merasa prihatin meliahat pribumi yang tertindas di bawah kotoran sang penjajah. Suatu ketika ia berjalan di sekitar perkampungan melihat perkebunan tebu,ia melihat para pekerja pribumi yang tersiksa bekerja di perkebunan tebu tersebut. Ketika itu ia bertemu seorang pribumi,ia nencoba mendekatinya lalu ngobrol dikit. Karena tampilanya yang ke-eropa-an membuat orang paruh baya tersebut menaruh curiga yang mendalam padanya. Minke berusaha meyakinkan orang tersebut,lalu ia dipersilahkan masuk ke rumah orang tersebut. Minke berusaha menanyakan segala sesuatu yang terjadi pada orang paruh baya tersebut. Pribumi itu kemudian menceritakan semua perlakuan pemerintah Kolonial terhadap pribumi yang ada di kampung itu.
Pemerintah Kolonial menipu para pribumi. Lading dan sawah milik pribumi di sewa dengan harga yang murah untuk dijadikan perkebunan tebuh. Sewa tanah tersebut sangat tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan pada pribumi. Setelah mendengarkan panjang lebar uraian pribumi tersebut dan mencatatnya,Minke kemudian meninggalkan tempat tersebut dan balik ke Wonokromo.
Setelah semua tulisannya rampung,ia membawanya ke penerbit untuk dimuat dalam Koran. Namun pimpinan redaksi tersebut menolak untuk menerbitkannya,dengan alasan tulisan tersebut telah memfitnah pemerintah colonial dan tanpa ada bukti. Lalu Minke diperingati untuk tidak menulis lagi tentang kritkan terhadap pemerintah,apalagi mengenai perusahaan gula yang menjadi pokok permasalahan tulisannya. Dengan perasaan sedih,marah,dan kecewa ia balik ke rumah Jean Marais sahabatnya,di perjalanan ia mensobek-sober kertas tulisannya tersebut. Ia menyampaikan semua hal yang dialaminya tersebut kepada sahabatnya.
Jean Marais mencoba menjelaskan padanya bahwa mengapa pimpinan redaksi tersebut menolak menerbitkan tulisannya,karena mereka dibiayai oleh perusahaan gula milik pemerintah colonial. Maka dari itu mereka menolak memuatnya dalam Koran,dan mereka tidak akan memuat berita yang bernuansa negative terhadap perusahaan gula.
Ia pun sadar bahwasanya semua yang benar hanya milik pemerintah colonial,dan pribumi tidak mampu melawannya,sekalipun mereka benar. Pribumi takut untuk menentang kebijkan pemerintah colonial,karena hanya akan mengancam kelangsungan hidup mereka. Pribumi tidak punya hak hokum di mata pemerintahan pada saat itu. Inilah yang membuat Minke merasa bahwa bangsanya memang sangat terpuruk dan tertindas di rumah sendiri. Ia pun mulai belajar menulis dalam bahasa Jawa,dan mencoba menerbitkan tulisannya di Koran-koran melayu atau Koran local yang tidak punya kaitan dengan pemerintah terutama perusahaan gula.
Sudut pandang permasalahan
Jika di petakan permasalah yang terjadi pada saat itu,maka paling tidak seperti ini;
1. Segi Ekonomi: perekonomian pada waktu itu sangat dikuasai oleh Belanda,meskipun mereka telah menghapuskan undang-undang perbudakan. Mereka menipu pribumi dengan perjanjian penyewaan tanah untuk dijadikan perkebunan gula dengan imbalan yang besar,namun nyatanya menyengsrakan rakyat.
2. Segi politi: pribumi tidak punya kekuatan hukum untuk menuntut di kepada pemilik modal yang telah merampas hak mereka. Apalagi yang mereka hadapi bangsa Eropa,dimana bangsa kulit putih selalu lebih terhadap pribumi,karena memiliki badan hokum. Padahal ini adalah bangsa sendiri,kenapa malah jadi budak di rumah sendiri.
3. Segi Kebudayaan: begitu pentingnya untuk mengenal bangsa sendiri,untuk dapat berbuat dan bertindak sendi-sendi kebudayaan harus diperkokoh agar tidak mudah dihinakan oleh bangsa lain. Disinilah Minke mulai membuka mata terhadap permasalahan yang dihadapi oleh sebangsanya sendiri.
reff : http://asranzainuddin.blogspot.com/2014/11/anak-semua-bangsa.html
0 comments:
Posting Komentar