Gara-gara membaca buku Kicau Kacau nya Indra Herlambang yang tak sengaja saya beli di bagian obral buku di Gramedia karena merasa butuh bacaan baru yang tidak berat, tiba-tiba terpikir soal sahabat. Tepatnya teringat seorang sahabat. Gara-gara sebuah tulisan di halaman belakang buku tersebut, yang berjudul Yang Nyaris Terlupakan. Gara-gara petikan paragraf ini:
"Teman yang sebenar-benarnya tidak akan berubah menjadi asing hanya karena jarak atau jumlah pertemuan yang semakin berkurang. Sahabat adalah sahabat. Yang kedekatannya lebih dari sekedar urusan fisik dan kebersamaan kegiatan. Yang bisa hidup terpencar bertahun-tahun namun setiap kali bertemu tetap terasa seolah tidak pernah berpisah sedetik pun. Yang ketika jumpa hanya membutuhkan sebuah tanya sederhana untuk membuka sebuah perbincangan maha menyenangkan tanpa adanya kecanggungan sedikit pun. Tapi berapa banyak diantara kita yang cukup beruntung untuk punya teman seperti itu?"
Dan ingatan saya langsung melayang pada seorang sahabat yang terpencar jauh. Seorang sahabat yang saya kenal sejak kuliah, yang lebih sering kontak lewat message Facebook, karena selain SMS dia tidak menggunakan BBM ataupun whatsapp. Hanya lewat Facebook. Dan sahabat saya ini tidak setiap saat terkoneksi dengan internet karena tinggal berpindah-pindah ke berbagai negara mengikuti suaminya bekerja. Kesempatan untuk bertemu biasanya saat sahabat saya pulang kampung menjelang Idul Fitri, itu pun belum tentu tiap tahun.
Apa yang tertulis di petikan paragraf diatas betul-betul mewakili isi hati saya. Setiap kami bertemu sama sekali tak ada kecanggungan meskipun kami begitu jauh terpencar, saya dimana dia dimana, saya ngapain dia ngapain. Dengan panggung kehidupan yang berbeda, dengan pengalaman hidup yang berbeda, ruang dan waktu yang berbeda. Kami punya kehidupan yang jauh berbeda. Dia sudah berumah tangga saya masih single. Namun itu semua tidak menghalangi kami untuk tetap terkoneksi satu sama lain, tetap bisa saling mengerti, tetap nyambung. Dan ketika bertemu semua mengalir dan tak pernah terasa bahwa sesungguhnya kami telah terpencar begitu jauh.
Setiap perjumpaan seringkali berlangsung sederhana. Jarang bertemu jarang pula pertemuan diabadikan apalagi diunggah ke media sosial. Persahabatan kami jarang dipublikasi. Bahkan tidak banyak koleksi foto saya dan sahabat saya itu. Selama 17 tahun bersahabat hanya 2 kali kami traveling bareng. Paling sering ya ngobrol di rumahnya saat dia pulang kampung. Hampir di setiap akhir perjumpaan, kalimat penutup yang sering terlontar adalah: see you when I see you.. alias tak jelas kapan lagi akan bersua, tak bisa diprediksi karena biasanya saya baru benar-benar tahu dia ada di tanah air saat H-1 atau bahkan saat dia benar-benar sudah sampai di rumahnya.
Kembali ke petikan tulisannya Indra Herlambang diatas, jujur itu mengena sekali. Saya jadi tersadar bahwa selama ini saya sudah memiliki teman (sahabat) seperti itu. Ternyata saya beruntung.
P.S :
Terima kasih telah menjadi sahabat paling pengertian. Jauh di mata dekat di hati.
reff : http://kunindri.blogspot.com/2015/08/sahabat.html
"Teman yang sebenar-benarnya tidak akan berubah menjadi asing hanya karena jarak atau jumlah pertemuan yang semakin berkurang. Sahabat adalah sahabat. Yang kedekatannya lebih dari sekedar urusan fisik dan kebersamaan kegiatan. Yang bisa hidup terpencar bertahun-tahun namun setiap kali bertemu tetap terasa seolah tidak pernah berpisah sedetik pun. Yang ketika jumpa hanya membutuhkan sebuah tanya sederhana untuk membuka sebuah perbincangan maha menyenangkan tanpa adanya kecanggungan sedikit pun. Tapi berapa banyak diantara kita yang cukup beruntung untuk punya teman seperti itu?"
Dan ingatan saya langsung melayang pada seorang sahabat yang terpencar jauh. Seorang sahabat yang saya kenal sejak kuliah, yang lebih sering kontak lewat message Facebook, karena selain SMS dia tidak menggunakan BBM ataupun whatsapp. Hanya lewat Facebook. Dan sahabat saya ini tidak setiap saat terkoneksi dengan internet karena tinggal berpindah-pindah ke berbagai negara mengikuti suaminya bekerja. Kesempatan untuk bertemu biasanya saat sahabat saya pulang kampung menjelang Idul Fitri, itu pun belum tentu tiap tahun.
Apa yang tertulis di petikan paragraf diatas betul-betul mewakili isi hati saya. Setiap kami bertemu sama sekali tak ada kecanggungan meskipun kami begitu jauh terpencar, saya dimana dia dimana, saya ngapain dia ngapain. Dengan panggung kehidupan yang berbeda, dengan pengalaman hidup yang berbeda, ruang dan waktu yang berbeda. Kami punya kehidupan yang jauh berbeda. Dia sudah berumah tangga saya masih single. Namun itu semua tidak menghalangi kami untuk tetap terkoneksi satu sama lain, tetap bisa saling mengerti, tetap nyambung. Dan ketika bertemu semua mengalir dan tak pernah terasa bahwa sesungguhnya kami telah terpencar begitu jauh.
Setiap perjumpaan seringkali berlangsung sederhana. Jarang bertemu jarang pula pertemuan diabadikan apalagi diunggah ke media sosial. Persahabatan kami jarang dipublikasi. Bahkan tidak banyak koleksi foto saya dan sahabat saya itu. Selama 17 tahun bersahabat hanya 2 kali kami traveling bareng. Paling sering ya ngobrol di rumahnya saat dia pulang kampung. Hampir di setiap akhir perjumpaan, kalimat penutup yang sering terlontar adalah: see you when I see you.. alias tak jelas kapan lagi akan bersua, tak bisa diprediksi karena biasanya saya baru benar-benar tahu dia ada di tanah air saat H-1 atau bahkan saat dia benar-benar sudah sampai di rumahnya.
Kembali ke petikan tulisannya Indra Herlambang diatas, jujur itu mengena sekali. Saya jadi tersadar bahwa selama ini saya sudah memiliki teman (sahabat) seperti itu. Ternyata saya beruntung.
P.S :
Terima kasih telah menjadi sahabat paling pengertian. Jauh di mata dekat di hati.
reff : http://kunindri.blogspot.com/2015/08/sahabat.html
0 comments:
Posting Komentar